TUGAS DAN WEWENANG MPR
Dikutip dari id.wikipedia.org Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau cukup disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI atau MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sejarah
Sejak 17 Agustus 1945,
bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih
muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya.
Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila
yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu
sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat
Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pra Amendemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra
Amendemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga
Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan
negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai
perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi
perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak untuk
mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama
kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni
1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam
konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang
mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah
dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya.
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo
menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis
Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas
seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan.
Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan
dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen).
Masa Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1965-1999)
Pada
awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena
gentingnya situasi saat itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri
bangsa dengan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen) menyebutkan, Sebelum
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite
Nasional.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi
perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang
KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen)
dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP
sebagai embrio MPR.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR
tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada
tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih
anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan
Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan
yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah
menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak
mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden yang berisikan :
- Pembubaran Konstituante,
- Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh
Dekret Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
- MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
- Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
- Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
- Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
- MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257
Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan
G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan
G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh
kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan.
MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan
selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959,
setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut
dipandang tidak memadai lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian
keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan
wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum
terbentuk.
Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan
G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno
mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran
ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno
yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai
pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor
5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato
pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam
suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap
Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah
membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa
Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional.
Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9
Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat
bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional,
politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan
Pancasila”.
Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk
memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS
dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat
Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966,
serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan
pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.
Sejak saat itu, maka semangat Orde Baru telah menggantikan Orde Lama yang tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila.
Masa Reformasi (1999-sekarang)
Bergulirnya
reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para
pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai
lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang
sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat.
Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi
lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan
kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip
demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat
berjalan optimal.
Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” ,
setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan
demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya
oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh
berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.
Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3
UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai
tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar
negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam
perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar
mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan
ketatanegaraan Indonesia.
Tugas dan wewenang
Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
MPR
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan
terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari
jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis
dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta
alasannya.
Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan,
pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul
dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai alasan pengubahan yang
paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima
pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan
pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas
kelengkapan persyaratan.
Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan
MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada
pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh
pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib
menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh)
hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi
kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1
(satu) anggota.
Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
MPR
melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang
paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi
negara memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu
dicabut sendiri oleh MPR. Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam
Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7
(lanjutan 2) tanggal 09 November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).
Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
MPR
hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.
MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul
DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa
jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul.
Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri
sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui
oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang
hadir.
Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
Jika
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden
sampai berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan
sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden.
Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut
agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna
DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah
menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan
MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Memilih Wakil Presiden
Dalam
hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang
paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih
Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Apabila
Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersamaan, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga
puluh) hari untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua)
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan
Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri
Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara
bersama-sama.
Keanggotaan
MPR
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum
reformasi, MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan
golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-undang. Jumlah anggota
MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR
dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan
berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan
sumpah/janji.
Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji
secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang
paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji
secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan
MPR.
Hak dan kewajiban anggota
Hak anggota
- Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
- Memilih dan dipilih.
- Membela diri.
- Imunitas.
- Protokoler.
- Keuangan dan administratif.
Kewajiban anggota
- Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.
- Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan.
- Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
- Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Fraksi dan kelompok anggota
Fraksi
Fraksi
adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai
politik. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang
batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap
anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah
satu fraksi. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan
anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. Pengaturan
internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.
Kelompok anggota
Kelompok
Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh
anggota DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi
dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya
sebagai wakil daerah. Pengaturan internal Kelompok Anggota sepenuhnya
menjadi urusan Kelompok Anggota.
Alat kelengkapan
Alat kelengkapan MPR terdiri atas; Pimpinan dan Panitia Ad Hoc.
Pimpinan
Pimpinan
MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan
4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua
berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari
anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR. Namun pada
periode 2014 - 2019 pemilihan pimpinan MPR dilaksanakan dengan
mengajukan 2 paket yang di usung oleh dua koalisi besar (KMP dan KIH)
dengan struktur terdiri 4 orang dari DPR dan 1 orang dari DPD.
Panitia Ad Hoc
Panitia
ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima
persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari
jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD
secara proporsional dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR.
Sidang
MPR bersidang sedikitnya duakali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sidang MPR sah apabila dihadiri:
- sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
- sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD
- sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya
Putusan MPR sah apabila disetujui:
- sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
- sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.
Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih
dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai
hasil yang mufakat.
Sekretariat Jenderal
Sekretariat
Jenderal Majelis Permusyawaratan (disingkat Setjen MPR) adalah Aparatur
Pemerintah yang berbentuk Kesekretariatan Lembaga Negara. Setjen MPR
dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang berada di bawah MPR dan
bertanggung jawab kepada Pimpinan MPR
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat_Republik_Indonesia