Percetakan & Sablon, Cetak Undangan, Kartu Nama, Cetak Foto Media Kayu, Gantungan Kunci Bambu, Pin & Bros, Plakat, Sablon Mug, Sablon Kaos, Sablon Topi, Dll. WA : 0878 2019 7027 Email: pangrangoprint@gmail.com


1/27/2017

Sejarah Gunung Gede Pangrango

Sejarah Gunung Gede Pangrango






Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah salah satu taman nasional yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Ditetapkan pada tahun 1980, taman nasional ini merupakan salah satu yang tertua di Indonesia. TN Gunung Gede Pangrango terutama didirikan untuk melindungi dan mengkonservasi ekosistem dan flora pegunungan yang cantik di Jawa Barat. Dengan luas 21.975 hektare, wilayahnya terutama mencakup dua puncak gunung Gede dan Pangrango beserta tutupan hutan pegunungan di sekelilingnya.


Sejarah kawasan

Kawasan Gunung Gede dan Gunung Pangrango sesungguhnya telah dikenal lama dalam dongeng dan legenda tanah Sunda. Salah satunya, naskah perjalanan Bujangga Manik dari sekitar abad-13 telah menyebut-nyebut tempat bernama Puncak dan Bukit Ageung (yakni, Gunung Gede) yang disebutnya sebagai "..hulu wano na Pakuan" (tempat yang tertinggi di Pakuan). Agaknya, pada masa itu telah ada jalan kuno antara Bogor (d/h Pakuan) dengan Cianjur, yang melintasi lereng utara G. Gede di sekitar Cipanas sekarang.

Pada masa penjajahan Belanda wilayah yang subur ini kemudian tumbuh menjadi area pertanian, terutama perkebunan. Sedini tahun 1728 teh Jepang telah mulai ditanam, dan pada 1835 perkebunan teh ini telah dikembangkan di Ciawi dan Cikopo. Menyusul pada 1878 dikembangkan teh Assam, yang terlebih sukses lagi, sehingga mengubah lansekap dan perekonomian di seputar lereng Gede-Pangrango.

Kawasan Gede-Pangrango juga dikenal sebagai salah satu tempat favorit dan tertua, bagi penelitian-penelitian tentang alam di Indonesia. Menurut catatan modern, orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Gede adalah Reinwardt, pendiri dan direktur pertama Kebun Raya Bogor, yang mendaki G. Gede pada April 1819. Ia meneliti dan menulis deskripsi vegetasi di bagian gunung yang lebih tinggi hingga ke puncak. Reinwardt sebetulnya juga menyebutkan, bahwa Horsfield telah mendaki gunung ini lebih dahulu daripadanya; akan tetapi catatan perjalanan Horsfield ini tidak dapat ditemukan.

Dua tahun kemudian, melalui sehelai surat yang dikirimkan dari Buitenzorg (sekarang Bogor) pada awal Agustus 1821, Kuhl dan van Hasselt menyebutkan bahwa mereka baru saja menyelesaikan pendakian dan penelitian ke puncak Pangrango. Kedua peneliti muda itu menemukan banyak jejak dan jalur lintasan badak jawa di sana; bahkan mereka menggunakannya untuk memudahkan menembus hutan menuju puncak G. Pangrango. Delapan belas tahun kemudian Junghuhn mendaki ke puncak Pangrango pada bulan Maret 1839, dan juga ke puncak Gede dan wilayah sekitarnya pada bulan-bulan berikutnya, untuk mempelajari topografi, geologi, meteorologi, serta botani tetumbuhan di daerah ini. Sejak masa itu, tidak lagi terhitung banyaknya peneliti yang telah mengunjungi kawasan ini hingga sekarang, baik yang tinggal lama maupun yang sekadar singgah dalam kunjungan singkat.

Banyaknya peneliti yang berkunjung ke tempat ini tak bisa dilepaskan dari kekayaan dan keindahan alam di Gunung Gede-Pangrango, dan awalnya juga oleh keberadaan Kebun Raya Cibodas; yang semula—ketika dibangun pada 1830 oleh Teijsman—sebetulnya dimaksudkan sebagai kebun aklimatisasi bagi tanaman-tanaman yang potensial untuk dikembangkan dalam perkebunan. Kebun, yang kemudian dikembangkan menjadi kebun raya (lk. 1870), ini menyediakan tempat menginap yang cukup baik, sarana penelitian, serta catatan-catatan dan informasi dasar yang terus bertumbuh mengenai keadaan lingkungan dan hutan di sekitarnya. Pada tahun 1889, atas usulan Treub, sebidang hutan pegunungan seluas 240 hektare di atas kebun raya tersebut hingga ke wilayah sekitar Air Panas ditetapkan sebagai cagar alam oleh Pemerintah Hindia Belanda. Inilah cagar alam dan kawasan konservasi ragam hayati yang pertama didirikan di Indonesia. Belakangan, pada 1926, cagar alam ini diperluas hingga mencakup puncak-puncak gunung Gede dan Pangrango, dengan luas total 1.200 ha.

Bersama dengan meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya lingkungan hidup, pada tahun 1978 Pemerintah Indonesia menetapkan Cagar Alam (CA) Gunung Gede Pangrango seluas 14.000 ha, melingkup kedua puncak gunung beserta tutupan hutan di lereng-lerengnya. Kemudian pada 6 Maret 1980 cagar alam ini digabungkan dengan beberapa suaka alam yang berdekatan dan ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango—satu dari lima taman nasional yang pertama di Indonesia, dengan luas keseluruhan 15.196 ha. Dan akhirnya, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Gede Pangrango, kawasan TN Gunung Gede Pangrango memperoleh tambahan area seluas 7.655,03 ha dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sehingga total luasannya kini menjadi 22.851,03 ha.

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Gunung_Gede_Pangrango

Sejarah Dan Legenda TNGGP

Gunung Gede Pangrango ditetapkan sebagai salah satu dari 5 taman nasional pertama di Indonesia oleh pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian tahun 1980.

Sejarah awal konservasi di kawasan ini hanya sedikit diketahui, walaupun hutan dan gunung merupakan bagian dari legenda-legenda di tanah Sunda. Tampaknya ada jalur sejarah dari kota tua Cianjur sampai Bogor melalui Cipanas. Bagian lereng pegunungan yang rendah, tidak rata dan berteras-teras dulunya digunakan untuk pertanian dengan pergiliran tanaman.

Dikenalkannya tanaman teh sebagai tanaman perkebunan memberikan dampak nyata bagi kawasan ini. Teh varietas Jepang telah ditanam sejak tahun 1728, dan perkebunan ini terbentang mulai dari Ciawi sampai Cikopo di tahun 1835. Kemudian, tahun 1878, teh Assam diperkenalkan dan tumbuh dengan sangat baik, menyebabkan ekonomi dan kondisi lingkungan di kampung-kampung dilereng pegunungan berubah.

Sejarah panjang kegiatan konservasi dan penelitian dimulai sejak tahun 1830 dengan terbentuknya kebun raya kecil di dekat Istana Gubernur Jenderal Kolonial Belanda di Cipanas, dan kemudian kebun raya kecil ini diperluas sehingga menjadi Kebun Raya Cibodas sekarang ini. Pemerintahan Kolonial Belanda sangat antusias untuk meningkatkan tanaman-tanaman penting dan bernilai ekonomis serta perkebunan komersial, sehingga dibanguna suatu stasiun penelitian dan percobaan pertanian di dataran tinggi ini. Tidak lama setelah itu, botanis-botanis lokal kemudian mulai tertarik untuk meneliti keanekaragaman tumbuhan disekitar pegunungan ini. Abad 19 merupakan masa-masa terbesar dan penting dalam sejarah koleksi tumbuhan , dan Cibodas menjadi salah satu lokal koleksi tumbuhan saat itu.

Tahun 1889, areal hutan antara Kebun Raya Cibodas dan Air Panas ditetapkan sebagai Cagar Alam. Setelah tahun 1919, suatu kawasan cagar alam ditetapkan. Komitmen utama dimulai tahun 1978, ketika kawasan seluas 14,000 hektar, yang terdiri dari 2 puncak utama dan lerengnya yang luas, ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Gunung Gede Pangrango. Akhirnya, tahun 1980, seluruh kawasan terpisah-pisah ini digabung menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Legenda dan Kepercayaan

Pencarian sampai bagian dari kawasan Gunung Gede dan Pangrango yang terdalam, anda tidak akan terkejut untuk menemukan bahwa kawasan ini kaya dengan sejarah dan legenda. Cerita-cerita tersebut menjadi kunci kepada kekaguman kita terhadap gunung ini.

Di Cibeureum, ada suatu batu besar di air terjun Cikundul. Menurut legenda setempat, tempat formasi batu tersebut berada dahulu merupakan tempat dimana seorang yang dipercayai sangat sakti sedang bersila dan melakukan meditasi, saking lamanya bersila dan meditasi, akhirnya orang sakti tersebut berubah menjadi batu. Pada hari kiamat, dipercayai bahwa dia akan berubah wujud menjadi manusia kembali. Dalam cerita ini, kejadian alam dan spritual tidak dapat dipisahkan.

Sumber : http://www.gedepangrango.org/tentang-tnggp/sejarah-dan-legenda-tnggp/

Sejarah dan Misteri Gunung Gede Pangrango

Eyang Jayakusumah adalah penjaga Gunung Sela yang berada disebelah utara puncak Gunung Gede. Sedangkan Eyang Jayarahmatan dan Embah Kadok menjaga dua buah batu dihalaman parkir kendaraan wisatawan kawasan cibodas. Batu tersebut pernah dihancurkan, namun bor mesin tidak mampu menghancurkannya. Dalam kawasan Kebun Raya Cibodas, terdapat petilasan/ makam Eyang Haji Mintarasa. Pangeran Suryakencana menyimpan hartanya dalam sebuah gua lawa/walet yang berada di sekitar air terjun Cibeureum. Gua tersebut dijaga oleh Embah Dalem Cikundul. Tepat berada di tengah-tengah air terjun Cibeureum ini terdapat sebuah batu besar yang konon adalah perwujudan seorang pertapa sakti yang karena bertapa sangat lama dan tekun sehingga berubah menjadi batu. Pada hari kiamat nanti barulah ia akan kembali berubah menjadi manusia.

Sumber : https://sanggrahanpecintaalam.wordpress.com/cerita-mitoskepercayaansejarah-dan-misteri-gn-gede-pangrango/


Share: